Tafsir Tarbawi Surat Al-Baqarah Ayat 11-13 (Sifat Munafik: Mencari-cari Pembenaran)
Oleh : Adam Rizkala
Surat Al-Baqarah ayat 11-13 adalah ayat-ayat yang mengabarkan tentang sifat orang-orang munafik yang mencari-cari pembenaran ketika diperingatkan dan merendahkan orang-orang beriman. Pada ayat-ayat tersebut, terdapat banyak faedah yang berkaitan erat dengan pengajaran dan pendidikan. Apa sajakah faedah-faedah tersebut? Berikut pembahasan lengkapnya :
Tafsir Tarbawi Al-Baqarah Ayat 11
وَإِذَا قِيلَ لَهُمۡ لَا تُفۡسِدُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ قَالُوٓاْ إِنَّمَا نَحۡنُ مُصۡلِحُونَ ١١
Apabila dikatakan kepada mereka, “Janganlah berbuat kerusakan di bumi,” mereka menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah orang-orang yang melakukan perbaikan.”
[QS. Al-Baqarah ayat 11]
1. Sifat Orang Munafik: Mencari-cari Pembenaran Ketika Diperingatkan
Pada ayat ini, Allah mengabarkan tentang sifat orang-orang munafik yang tidak mau mengakui kesalahannya. Ketika mereka diperingatkan untuk tidak berbuat kerusakan di atas muka bumi, mereka malah mengatakan bahwa yang dilakukannya adalah perbaikan. Setiap kali diingatkan, mereka selalu mencari-cari alasan untuk membenarkan kesalahan mereka. Sifat inilah yang membuat mereka sulit untuk mendapat hidayah sehingga terus-menerus larut dalam kemaksiatan.
Pesan untuk Para Guru :
Mencari-cari pembenaran atas kesalahan yang diperbuat adalah salah satu sifat orang-orang munafik. Sifat ini sangat berbahaya karena dapat menghalangi seseorang dari hidayah. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mengajarkan murid-murid kita sikap yang benar ketika diperingatkan, yaitu menyadari dan mengakui kesalahannya serta berkomitmen untuk bertobat.
2. Memperingatkan Bahaya Tipu Muslihat Orang Munafik
Ketika orang-orang munafik diperingatkan untuk tidak berbuat “kerusakan”, mereka malah mengatakannya sebagai “perbaikan”. Perbuatan ini disebut dengan menghiasi keburukan agar terlihat baik di mata orang. Mereka menghiasi perusakan yang mereka lakukan agar terlihat indah, logis, bahkan menarik. Mereka melakukan hal demikian untuk mengelabui orang-orang beriman.
Pesan untuk Para Guru :
Wajib bagi kita untuk memperingatkan murid-murid kita terhadap bahaya tipu muslihat orang-orang munafik. Jangan sampai kita tertipu dengan penampilan mereka yang terlihat “saleh” namun justru menjerumuskan pada maksiat, syirik, bid’ah, dan juga kesesatan. Terlebih di era derasnya arus informasi, siapa pun – termasuk orang munafik – bisa menjadi “influencer agama” untuk menyebarkan keburukan dan kesesatannya.
3. Maksiat Adalah Perbuatan Merusak di Atas Muka Bumi
Pada ayat ini, Allah mengabarkan nasehat yang disampaikan kepada orang-orang munafik yaitu “لَا تُفۡسِدُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ” (Janganlah berbuat kerusakan di bumi). Menurut para ahli tafsir, berbuat kerusakan di atas muka bumi adalah kekufuran dan berbuat maksiat. Disebutkan dalam tafsir Ibnu Kaṡīr bahwa :
الفساد هو الكفر، والعمل بالمعصية
Perusakan adalah kekufuran dan berbuat maksiat. [Tafsīr Ibnu Kaṡīr : 1/279]
Sedangkan kebalikan dari perusakan adalah perbaikan. Menurut Syekh Abu Bakar Jābir Al-Jazāiri, perbaikan adalah :
الإصلاح في الأرض: يكون بالإيمان الصحيح والعمل الصالح، وترك الشرك والمعاصي
Perbaikan (atau iṣlāḥ) di muka bumi: terjadi dengan iman yang benar (ṣaḥīḥ) dan amal saleh, serta dengan meninggalkan syirik dan kemaksiatan. [Aisar At-Tafāsīr : 1/25]
Iman dan amal saleh pasti berdampak pada maslahat (perbaikan), sedangkan kekufuran dan kemaksiatan pasti berdampak pada mafsadat (kerusakan). Dampak maslahat dan mafsadat itu dapat diketahui melalui pengalaman maupun pengamatan. Meskipun demikian, adakalanya dampak maslahat dan mafsadat itu tidak diketahui oleh manusia sebab keterbatasan pengetahuan dan kesadaran mereka.
Pesan untuk Para Guru :
Penting bagi kita untuk menyampaikan kepada murid-murid kita bahwa kekufuran dan kemaksiatan adalah tindakan yang berdampak pada kerusakan di atas muka bumi. Sadarkan mereka bahwa dampak tersebut tidak hanya menimpa pada individu pelakunya, tetapi juga pada orang lain. Untuk memahamkannya, kita dapat memberikan contoh-contoh konkret kerusakan yang ditimbulkan oleh kekufuran dan kemaksiatan tesebut. Selain itu, jelaskan juga bahwa dampak tersebut bisa datang seketika atau di kemudian hari. Dengan demikian, mereka akan lebih memahami betapa pentingnya menjauhi kekufuran dan perbuatan maksiat.
Tafsir Tarbawi Al-Baqarah Ayat 12
أَلَآ إِنَّهُمۡ هُمُ ٱلۡمُفۡسِدُونَ وَلَٰكِن لَّا يَشۡعُرُونَ ١٢
Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari.
[QS. Al-Baqarah ayat 12]
1. Tolak Ukur Kebaikan Bukanlah Klaim Sepihak
Setelah orang-orang munafik mengatasnamakan perbaikan untuk membenarkan perilaku merusak mereka, Allah membantah klaim mereka dengan berfirman : “أَلَآ إِنَّهُمۡ هُمُ ٱلۡمُفۡسِدُونَ” (Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan). Imam Ibnu Jarīr Aṭ-Ṭabari mengatakan :
لأنَّهم كانوا في جميعِ ذلك من أمرِهم عندَ أنفسِهم مُحْسِنين، وهم عندَ اللَّهِ مُسيئون، ولأمرِ اللَّهِ مُخالِفون
Karena mereka (mengira), dalam semua ini, adalah orang baik menurut mereka sendiri. Padahal, mereka adalah orang jahat menurut Allah karena mereka menyelisihi perintah Allah. [Tafsīr Aṭ-Ṭabari : 1/300]
Pesan untuk Para Guru :
Harus kita tanamkan kepada murid-murid kita bahwa tolak ukur kebaikan bukanlah klaim sepihak, terlebih jika klaim tersebut berasal dari sangkaan belaka. Tolak ukur kebaikan harus berasal dari Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui, yaitu Allah subḥānahū wa ta‘ālā. Maka dari itu, wajib bagi guru untuk mendidik murid-muridnya dengan mengatakan “ini baik” dan “ini buruk” berdasarkan firman Allah dalam Al-Quran dan sabda Rasul dalam Al-Hadis. Tujuannya agar mereka memahami bahwa tolak ukur kebaikan harus berdasarkan firman Allah dan sabda Rasul-Nya, bukan klaim sepihak.
Selain itu, ajarkan juga kepada mereka bahwa tidak semua klaim “kebaikan” menurut suatu kelompok itu benar-benar kebaikan. Adakalanya suatu kelompok mengklaim “ini baik” dan “ini buruk” berdasarkan persangkaan mereka sendiri. Oleh karena itu, didiklah mereka untuk senantiasa merujuk kepada Al-Quran (firman Allah) dan Al-Hadis agar tidak salah dalam menilai “kebaikan” dan “keburukan”.
2. Tidak Menyadari Kesalahan Diri Sendiri
Pada ayat ini, Allah mengabarkan bahwa orang-orang munafiklah pelaku kerusakan yang sesungguhnya. Ironisnya, mereka sama sekali tidak menyadari hal tersebut. Bahkan, mereka berkeyakinan sebagai pelaku perbaikan. Kondisi ini menunjukkan bahwa di antara penyebab orang-orang munafik menganggap baik atas perbuatan buruknya adalah tidak adanya kesadaran atas kesalahan diri sendiri.
Pesan untuk Para Guru :
Sebagai guru, penting bagi kita untuk melatih murid-murid kita agar memiliki kesadaran diri dan jujur pada diri sendiri. Karakter ini dapat kita bangun melalui diskusi dan muhasabah diri. Dengan begitu, mereka akan terbiasa mengakui kesalahan, sehingga lebih mudah menerima nasihat dan tidak mencari-cari pembenaran atas kesalahannya.
3. Maksiat dapat Membutakan Mata Hati
Kebiasaan berbuat maksiat dapat menghilangkan sensitivitas seseorang sehingga membuatnya menganggap wajar dan tidak lagi merasakan bahwa tindakannya adalah kemaksiatan. Syekh Ibnu Uṡaimin mengatakan :
أن العمل السيئ قد يُعمي البصيرة؛ فلا يشعر الإنسان بالأمور الظاهرة
Sesungguhnya perbuatan buruk (maksiat) dapat membutakan mata hati, sehingga manusia tidak merasakan (atau menyadari) hal-hal yang jelas. [Tafsīr Al-Uṡaimin : 1/41]
Ini persis seperti yang dialami orang munafik. Akibat sering berbuat kerusakan di muka bumi, mereka menjadi terbiasa, sehingga meskipun sudah diperingatkan, mereka tetap “لَّا يَشۡعُرُونَ” (tidak menyadari) kesalahan mereka.
Pesan untuk Para Guru :
Janganlah seorang guru membiarkan kemaksiatan yang dilakukan oleh murid-muridnya meskipun itu adalah hal yang terlihat remeh. Jika maksiat itu dibiarkan maka akan membudaya dan menjadi hal yang wajar. Sekalipun suatu maksiat telah diwajarkan oleh masyarakat, guru wajib tetap memperingatkannya. Prinsip kita jelas: membiasakan hal yang benar, bukan membenarkan yang biasa.
4. Mengenalkan Kebaikan dan Keburukan dalam Islam
Kekeliruan fatal orang-orang munafik adalah meyakini kerusakan yang mereka lakukan sebagai perbaikan. Sikap buta hati ini timbul dari kebodohan yang membuat mereka tidak mampu lagi memilah antara kebaikan dan keburukan. Imam Ibnu Kaṡīr mengatakan :
ألا إن هذا الذي يعتمدونه، ويزعمون أنه إصلاح، هو عين الفساد، ولكن من جهلهم لا يشعرون بكونه فسادًا
Ketahuilah, apa yang mereka klaim sebagai perbaikan, sejatinya adalah inti dari kerusakan. Namun, karena kebodohan mereka, mereka tidak menyadari bahwa itu adalah kerusakan. [Tafsīr Ibnu Kaṡīr : 1/280]
Selain itu, menganggap perusakan sebagai perbaikan adalah pemutarbalikan fakta yang sangat berbahaya. Dampaknya, orang tersebut jauh lebih sulit dinasihati dari pada mereka yang setidaknya menyadari bahwa perbuatannya adalah keburukan. Syekh Abduraḥmān As-Sa’di mengatakan :
فجمعوا بين العمل بالفساد في الأرض، وإظهارهم أنه ليس بإفساد بل هو إصلاح، قلبا للحقائق، وجمعا بين فعل الباطل واعتقاده حقا، وهذا أعظم جناية ممن يعمل بالمعصية، مع اعتقاد أنها معصية فهذا أقرب للسلامة، وأرجى لرجوعه.
Mereka telah menggabungkan (dua hal yang kontradiktif, yaitu) berbuat kerusakan di muka bumi dan menyampaikan bahwa perbuatan mereka bukanlah kerusakan, melainkan perbaikan. Hal ini merupakan pemutarbalikan fakta, yaitu menggabungkan antara perbuatan batil dengan keyakinan bahwa itu adalah kebenaran. Ini adalah kejahatan yang lebih besar daripada orang yang melakukan maksiat, namun tetap meyakini bahwa itu adalah maksiat. Orang yang seperti ini lebih dekat kepada keselamatan dan lebih bisa diharapkan untuk bertobat. [Tafsīr As-Sa’di hlm. 42]
Pesan untuk Para Guru :
Agar murid mampu membedakan kebaikan dan keburukan, kita wajib memperkenalkan nilai-nilai Islam sebagai standar mutlak. Kebaikan dan keburukan tidak boleh dinilai hanya dengan pandangan manusia, melainkan harus tunduk pada timbangan Islam. Jika suatu perbuatan dinilai baik oleh Islam, kita wajib meyakininya sebagai kebaikan; sebaliknya, jika dinilai buruk, kita menjauhinya. Pemahaman ini sangat penting, sebab tanpanya, murid akan kesulitan menerima nasihat, terutama jika mereka keliru meyakini perbuatan buruknya sebagai kebaikan.
5. Membongkar dan Membantah Kesesatan
Ketika orang-orang munafik mengklaim kerusakan yang mereka lakukan sebagai “perbaikan”, Allah membantah klaim mereka dengan berfirman “أَلَآ إِنَّهُمۡ هُمُ ٱلۡمُفۡسِدُونَ” (Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan). Demikianlah cara Allah membongkar kesesatan mereka agar orang-orang beriman tidak tertipu oleh klaim tersebut.
Pesan untuk Para Guru :
Ahlul-bid’ah dari kalangan orang-orang munafik adalah musuh dalam selimut yang bersemangat merusak Islam dan kaum muslimin. Mereka giat menyebarkan kesesatan, syirik, bid’ah, dan maksiat melalui cara-cara yang halus dan memikat. Menghadapi ancaman nyata ini, kita wajib mendidik murid-murid kita agar aktif melawan kesesatan, bukan diam. Idealnya, kita bekali mereka dengan ilmu agama yang mendalam sehingga mereka mampu membongkar dan membantah segala bentuk penyimpangan yang mengancam kemurnian ajaran Islam.
Tafsir Tarbawi Al-Baqarah Ayat 13
وَإِذَا قِيلَ لَهُمۡ ءَامِنُواْ كَمَآ ءَامَنَ ٱلنَّاسُ قَالُوٓاْ أَنُؤۡمِنُ كَمَآ ءَامَنَ ٱلسُّفَهَآءُۗ أَلَآ إِنَّهُمۡ هُمُ ٱلسُّفَهَآءُ وَلَٰكِن لَّا يَعۡلَمُونَ ١٣
Apabila dikatakan kepada mereka, “Berimanlah kamu sebagaimana orang lain telah beriman,” mereka menjawab, “Apakah kami akan beriman seperti orang-orang yang picik akalnya itu beriman?” Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang picik akalnya, tetapi mereka tidak tahu.
[QS. Al-Baqarah ayat 13]
1. Sifat Orang Munafik: Merendahkan Orang-orang Beriman
Pada ayat ini, Allah menjelaskan tentang sikap yang ditunjukkan oleh orang-orang munafik. Ketika mereka diajak untuk beriman sebagaimana orang-orang telah melakukannya, mereka tidak menerima ajakan itu dengan lapang dada. Sebaliknya, sikap yang mereka tunjukkan justru merendahkan orang-orang yang telah beriman. Mereka menganggap bahwa orang-orang beriman itu adalah orang-orang yang picik akalnya karena mau mengikuti ajaran yang bagi mereka tidak masuk akal.
Pesan untuk Para Guru :
Di antara salah satu faktor penyebab sulitnya orang-orang munafik menerima kebenaran adalah sifat meremehkan dan merendahkan orang lain. Oleh karena itu, tugas kita sebagai seorang guru adalah membimbing murid-murid kita agar tidak meniru sikap tersebut. Didiklah mereka agar bersikap rendah hati dan mudah menerima kebenaran meskipun jika kebenaran itu dianut oleh orang-orang yang dianggap bodoh oleh sekelompok orang yang menentangnya.
2. Jangan Pedulikan Pandangan Buruk dari Manusia
Berdasarkan ayat tersebut, jelas bahwa ketika seseorang telah beriman maka ia akan menghadapi pandangan buruk dari orang-orang di sekitarnya. Dalam ayat ini, Allah menggambarkan sikap orang munafik yang menyebut orang-orang beriman sebagai “orang yang picik akalnya”. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang teguh dengan keimanan sering kali dipandang aneh, kolot, atau bahkan bodoh oleh mereka yang enggan menerima kebenaran. Namun, Allah menegaskan bahwa sebenarnya merekalah – orang-orang munafik – itu yang picik akalnya, tetapi mereka tidak menyadarinya.
Pesan untuk Para Guru :
Di antara salah satu karakter yang perlu kita tanamkan kepada murid-murid adalah ketangguhan dalam menghadapi pandangan buruk orang lain. Ajarkan kepada mereka bahwa anggapan bodoh dari manusia bukanlah hal yang harus dipedulikan. Tanamkan keyakinan bahwa kebenaran tidak diukur dari pendapat mayoritas, melainkan dari petunjuk yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadis. Berikan mereka motivasi untuk berani berbeda dan berdiri teguh di atas keimanan, meskipun pandangan itu tidak populer atau dianggap ketinggalan zaman. Yakinkan mereka bahwa celaan dan ejekan adalah bagian dari ujian, dan sesungguhnya mereka yang mencemooh justru berada dalam kerugian. Dengan demikian, kita membantu mereka tumbuh menjadi individu yang mandiri, tidak mudah goyah oleh pandangan negatif, dan memiliki keyakinan yang kuat di jalan yang benar.
3. Strategi Komunikasi Dakwah
Perhatikan kalimat “ءَامِنُواْ كَمَآ ءَامَنَ ٱلنَّاسُ” (Berimanlah kamu sebagaimana orang lain telah beriman)! Pada kalimat tersebut terdapat sebuah strategi komunikasi dakwah di mana pendakwah tidak hanya mengajak orang lain beriman tetapi juga memberi tahu bahwa sudah banyak orang lain yang juga ikut beriman.
Pesan untuk Para Guru :
Di antara strategi komunikasi yang sangat efektif dalam mendidik adalah menunjukkan bahwa banyak orang lain telah melakukan hal baik yang kita ajarkan. Strategi ini didasarkan pada prinsip bahwa manusia cenderung merasa aman dan termotivasi ketika melihat orang lain melakukan hal yang sama (validasi sosial). Dengan strategi ini, kita tidak hanya mengajarkan, tetapi juga memberikan motivasi dan bukti nyata bahwa apa yang kita ajarkan kepada para murid kita adalah hal yang lumrah dan bisa dilakukan. Mereka tidak akan merasa bahwa mereka sendirian dalam mengerjakan kebaikan dan memiliki teladan.
4. Bodoh Kuadrat Penyebab Tertutupnya Pintu Ilmu dan Hidayah
Ketika orang-orang munafik menganggap piciknya akal orang-orang yang beriman, maka Allah membantah anggapan mereka dengan berfirman “أَلَآ إِنَّهُمۡ هُمُ ٱلسُّفَهَآءُ وَلَٰكِن لَّا يَعۡلَمُونَ”. Ayat ini mengisyaratkan bahwa orang-orang munafik tidak mengetahui bahwa dirinya itu bodoh (tidak tahu). Keadaan ini disebut juga dengan istilah “jahl murakkab” atau “bodoh kuadrat”. Bodoh kuadrat adalah berkumpulnya dua unsur pada diri seseorang, yaitu bodoh (tidak tahu) dan bodoh (tidak tahu) bahwa dirinya itu bodoh (tidak tahu).
Pesan untuk Para Guru :
Selain kesombongan, bodoh kuadrat adalah salah satu penyebab sulitnya mendapatkan hidayah. Oleh karena itu, penting bagi kita para guru untuk membangun kesadaran akan keterbatasan ilmu pada murid. Kesadaran ini dapat menumbuhkan kerendahan hati yang merupakan pembuka pintu ilmu dan hidayah. Ketika murid menyadari keterbatasan pengetahuannya, ia akan lebih termotivasi untuk belajar, lebih mudah menerima koreksi, dan menghargai mereka yang berilmu.
Referensi Bacaan
- Tafsīr Ibnu Kaṡīr oleh Imam Ibnu Kaṡīr
- Aisarut-Tafāsīr oleh Syekh Abū Bakar Al-Jazāiri
- Tafsīr As-Sa’di oleh Syekh Abdurraḥmān As-Sa’di
- Tafsīr Al-Uṡaimin oleh Syekh Ibnu Uṡaimin
- Tafsīr Aṭ-Ṭabari oleh Imam Ibnu Jarīr Aṭ-Ṭabari
- Al-Quran dan Terjemahannya oleh Kemenag